Pancasila Sila ke-4 dan Demokrasi

Belum ada satu bulan dari aku nulis blog ini, DPR mengesahkan Undang-Undang yang menyatakan bahwa kepala daerah akan dipilih kembali oleh DPR. Hal ini memicu gelombang protes di seluruh Indonesia. Banyak orang yang berpendapat bahwa tindakan DPR ini akan menghidupkan kembali Orde Baru Jilid 2. Pendapat lainnya, pemilihan ini tidak demokratis karena tidak menampung aspirasi rakyat.

            Di balik maraknya protes pada aturan baru ini, ada beberapa golongan yang tetap mendukung pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Hal ini karena sebenarnya pemilihan kepala daerah secara tidak langsung sesuai dengan Pancasila sila ke-4, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Menurut sila ini pemilihan bupati/gubernur seharusnya memang lewat perwakilan, yaitu DPRD. Namun, benarkah pasal tersebut tidak menghendaki pemilihan langsung seperti berlangsung selama ini? Selain itu, apakah benar pemilihan lewat perwakilan di DPRD tidak demokratis? Benarkan pemilihan langsung adalah demokrasi “yang sesungguhnya”?

Kita akan kembali ke ajaran klasik dalam filsafat, yaitu Platon. Demokrasi dalam pandangan filsuf Yunani ini sebenarnya bukanlah demokrasi yang sering dimengerti oleh masyarakat saat ini. Demokrasi bukan hanya pemilihan pemimpin lewat pemungutan suara secara langsung. Bahkan, Platon tidak suka dengan demokrasi macam itu karena justru karena demokrasi, gurunya, Socrates, dihukum minum racun hingga akhirnya meninggal.

Bagi Platon demokrasi yang kita kenal selama ini bukanlah suatu sistem yang paling adil. Demokrasi berupa pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak mengandung kelemahan. Dikatakan demikian karena dalam suara terbanyak itu terkandung banyak hal yang subyektif. Bisa saja pemilihnya berasal dari kelompok yang kurang berpendidikan sehingga mereka menjatuhkan pilihan hanya pada figur yang paling terkenal. Jika ini yang terjadi, pemimpin yang dipilih bisa saja orang yang tidak kompeten karena suara hanya berdasarkan suka dan tidak suka. Pemilihan semacam ini juga rentan akan penipuan, karena bisa saja para pemilih disuap.

Platon mengusulkan demokrasi aristokrasi. Dalam konteks masyarakat saat ini aristokrasi identik dengan kepemimpinan monarki dinasti. Padahal menurut Platon aristokrasi berarti pemerintahan di tangan orang-orang yang benar-benar kompeten. Untuk memilih pemimpin harus diserahkan kepada sekelompok orang yang mampu. Dengan cara ini diharapkan akan muncul orang-orang yang berkualitas untuk menjadi pemimpin.

Sampai di sini dapat kita simpulkan bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPR sebenarnya tidak bisa dikatakan tidak demokratis. Ditambah lagi jika diperkuat oleh sejarah pemilihan pemimpin di masa Yunani-Romawi Kuno. Pada awalnya semua berpartisipasi dalam menentukan keputusan untuk jalannya pemerintahan suatu tempat. Lambat laun, tugas itu diserahkan kepada orang-orang yang memang terlibat dalam pemerintahan kota, karena para penduduk memiliki beragam kegiatan selain terlibat dalam pembuatan kebijakan kota. Mereka yang menjalankan pemerintahan ini mewakili aspirasi penduduk.

Namun apakah dengan alasan ini kita bisa langsung mengatakan bahwa pemilukada bisa diserahkan ke DPR? Belum. Secara teori, benar bahwa pemilu tidak langsung itu demokratis, tapi pada prakteknya di Indonesia pandangan semacam itu tidak bisa diterapkan. Ingat, demokrasi aristokrasi menurut Platon menuntut orang-orang yang kompeten untuk memilih pemimpin yang baik. Bagaimana dengan di Indonesia? Secara jelas kita bisa mengatakan bahwa para pejabat yang nantinya akan memilih para pemimpin daerah sangat tidak kompeten. Jika pemilihnya tidak kompeten, bisa dibayangkan seperti apa orang yang dipilih.

Kemudian, jika demokrasi aristokrasi tidak bisa diterapkan di Indonesia, apakah berarti negara ini melanggar Pancasila sila ke-4? Tidak. Karena untuk menyelesaikan polemik ini harus kita kembalikan ke makna demokrasi dan kata-kata yang menyusun sila ke-4. Dalam sila ini ada tiga kata kunci, yaitu “kerakyatan”, “permusyawaratan” dan “perwakilan”.

Berdasarkan entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kerakyatan” bisa mengacu pada segala sesuatu mengenai rakyat, bisa juga mengacu pada demokrasi. Jadi dalam kata ini terkandung segala hal yang berhubungan dengan rakyat dan pemerintahan. Kata kedua, yaitu “permusyawaratan” jika melihat pada KBBI berdasarkan kata dasar “musyawarah” yang bisa dipadankan dengan berembuk, berdiskusi. Kemudian kata terakhir, “perwakilan”. Menurut KBBI memiliki makna “seseorang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban bicara dan bertindak atas nama kelompok yang lebih besar”. Jadi makna gabungan ketiga kata ini dalam sila ke-4 adalah pemerintahan yang dijalankan melalui musyawarah yang mewakili pendapat rakyat.

Jika melihat pada tiga kata kunci ini pemaknaan pemilu oleh DPR tidak bisa dianggap seratus persen salah. Namun, perlu dilihat lagi bahwa kata “perwakilan” sebenarnya tidak menunjuk pada perwakilan untuk memilih pimpinan, tapi lebih pada perwakilan aspirasi rakyat. Jika demikian, dipilih atau tanpa dipilih oleh DPR para wakil rakyat, yang meliputi kepala daerah, mentri, hingga presiden harus mewakilin suara rakyat. Mereka bertanggung jawab pada rakyat dan harus mendengarkan pendapat rakyat. Mereka adalah orang yang dimaksud dalam kata-kata “perwakilan” itu.

Dapat disimpulkan bahwa sila ke-4 Pancasila tidak bertentangan dengan demokrasi, baik demokrasi langsung maupun demokrasi aristokrasi. Sila ini tidak memerhatikan pemilihan langung atau tidak langsung, selama hasil dari pemilihan tersebut adalah orang-orang yang bisa mewakili rakyat. Untuk bisa mewakili aspirasi rakyat, Indonesia saat ini dan mungkin ke di masa depan masih harus menggunakan pemilihan langsung karena tidak ada wakil yang kompeten untuk memilih pemimpin yang kompeten pula. Jika dilaksanakan pemilihan tidak langsung justru muncul akibat yang ditakutkan Platon, yaitu pemimpin dipilih berdasarkan suka/tidak suka, atau lebih buruk berdasarkan uang dan kekuasaan.


Leave a comment