Museum of Innocence

“What is love?”
“I don’t know.”
“Love is the name given to the bond Kemal feels with Füsun whenever they travel along highways or sidewalks; visit houses, gardens, or rooms; or whenever he watches her sitting in tea gardens and restaurants, and at dinner tables.”
“Hmmm … that’s a lovely answer,~ But isn’t love what you feel when you can’t see me?”
“Under those circumstances, it becomes a terrible obsession, an illness.” 

 

Seperti ditulis di post sebelumnya, saya sedang jatuh cinta pada novel-novelnya Orhan Pamuk. Setiap kali selesai baca satu buku, saya mencari lagi novelnya yang lain. Karena baca novelnya Pamuk, saya penasaran dengan Turki. Dulu ketika baca Istanbul saya ingin pergi ke sana. Sekarang setelah membaca beberapa novel Pamuk,saya jadi ingin tahu tentang Turki dan ingin membaca karya-karya penulis Turki yang lain.

Saat ini saya sedang mencari buku-buku dari Elif Şafak, penulis perempuan asal Turki yang juga dikenal di dunia internasional (baca: Barat). Sayangnya saya belum menemukannya. Padahal saya pensaran membacanya, terutama  Forty Rules of Love. Kalau melihat dari kutipan-kutipan diambil dari novelnya, sepertinya gaya bahasa Şafak tidak beda jauh dengan Pamuk: melankolis, romantis, tapi menyentuh. Apalagi novel ini tentang Rumi. Kita tahu kalau puisi-puisi Rumi selalu memiliki makna yang dalam, menyentu tapi dibungkus dengan kata-kata yang sederhana.

Baiklah, mari kembali ke bukunya Pamuk. Sebagai seorang Cancerian, saya suka dengan hal-hal yang romantis, salah satunya cerita romantis. Tapi bagi tiap orang definisi ‘cerita romantis’ itu berbeda-beda. Seringkali yang saya bilang ‘romantis’ buat sebagian orang dinilai biasa aja, termasuk novel-novel Pamuk.

Aku menilai novel-novel Pamuk itu romantis, tapi dengan gaya yang beda dari novel-novel penulis Barat. Bagi sebagian orang novel-novel Pamuk membosankan dan justru bikin bingung. Pendapat ini ada benarnya. Pamuk menulis dengan detail. Alur cerita dalam novel-novelnya lambat. Meskipun begitu, di balik kebingungan yang muncul ketika membaca novelnya, tersimpan romantisme versi Pamuk yang, menurut saya, sangat mendalam, tapi ditulis dengan kata-kata yang sederhana.

Museum of Innocence adalah novel Pamuk yang baru saja selesai saya baca. Novel ini terbit tahun 2009 (versi bahasa Inggris-nya). Seperti kebanyakan novel Pamuk lainnya, Museum ini juga ditulis dalam bahasa Turki, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Maureen Freely (yang menerjemahkan sebagian besar novel Pamuk).

Museum mengambil latar belakang akhir tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an. Buku ini bercerita tentang Kemal Basmacı, seorang playboy yang tinggal di Istanbul. Dia berasal dari sebuah keluarga kaya yang memiliki perusahaan turun-temurun. Suatu kali ketika akan membeli tas bermerk untuk tunangannya, Kemal bertemu dengan Füsun, sepupu jauhnya (sebenarnya tidak bisa dibilang sepupu karena keluarga Kemal dan Füsun hanya memiliki hubungan baik dan sangat dekat, sehingga dianggap saudara). Füsun bekerja di sebuah toko tas bermerk yang menjadi langganan kalangan menengah atas Istanbul. Dari pertemuan itu Kemal jatuh cinta pada Füsun. Mereka kemudian selalu bertemu di  Apartemen Merhamet milik keluarga Kemal.

Meskipun menjalin hubungan dengan Füsun, Kemal tidak bisa meninggalkan Sibel, pacarnya. Kemal dan Sibel akhirnya tunangan.  Keluarga Füsun diundang dalam upacara pertunagan Kemal. Namun segera setelah pesta selesai, keluarga itu ‘menghilang’. Kemal berusaha melacak keberadaan Füsun tapi tanpa hasil.

Setahun setelah menghilang, Kemal bertemu Füsun tapi dalam keadaan sudah menikah dengan Feridun. Suami Füsun bekerja di produksi film. Dia berharap membuat film sendiri tapi tidak punya modal. Dengan keinginan untuk bisa dekat dengan pujaan hatinya, Kemal setuju untuk membantu Feridun merintis studio film sendiri.

Karena bekerja sama dengan Feridun maka hampir setiap hari Kemal datang ke rumah Füsun. Kegiatan ini dilakukannya selama delapan tahun. Pada akhirnya Füsun bercerai dari suaminya, justru setelah suaminya sukses membuat film yang laris di pasaran.

Füsun kemudian bertunangan dengan Kemal. Mereka berencana menikah, tapi justru Füsun meninggal. Sepeninggal Füsun, Kemal berusaha mengumpulkan kenangan-kenangan yang berhubungan dengan kekasihnya itu. Dia menyimpannya dalam sebuah museum: Museum of Innocence.

Setelah Snow,  sekali lagi saya dibuat terpesona sama cara bercerita Pamuk, termasuk kata-katanya. Cerita cinta Kemal-Füsun ini klise. Kita sering menemukannya di berbagai novel atau bahkan sinetron.  Yang berbeda adalah cara pemaparan cerita cinta ini, yaitu dengan menyentuh dan menguras emosi. Ini adalah satu hal yang paling saya suka dari Pamuk: selalu bisa bikin pembaca larut dalam ceritanya.

Pemuk membungkus cinta antara Kemal dan Füsun dengan gambaran Istanbul tahun 1970-an. Kita diajak berjalan-jalan melewati berbagi daerah di istanbul, menyeberangi Selat Bosphorus, mengunjungi beberapa kawasan miskin di kota megapolitan ini. Saya larut dalam nuansa huzun yang dibawa oleh Pamuk lewat dinginnya musim gugur dan salju di Istanbul.

Sebagai tambahan, jika sering membaca novel-novel Pamuk, kita akan akrab dengan musim gugur dan musim dingin di Turki (terutama Istanbul). Pamuk mencintai musim gugur dan musim dingin. Dalam sebuah wawancara di media Amerika dia mengatakan dua musim itu adalah yang paling menyentuh, paling tepat untuk latar belakang ceritanya.

Dua musim itu menggambarkan suasana yang muram dan lambat, seperti cerita Museum ini. Pamuk menyukai romantisme yang dibungkus kesedihan. Namun kesedihan itu bukan sebuah penderitaan yang harus diratapi. Dia adalah bagian dari hidup, bagian dari sisi romantis dalam hidup manusia.

Museum of Innocene yang dibangun oleh Kemal bukan bagian dari perasaan yang sedih. Dia adalah kebahagiaan bagi Kemal. Di tempat ini dia mengenang semua kisah cintanya. Dan kenangan-kenangan itu yang membuatnya bahagia.

Novel ini mengajak saya untuk menemukan kembali Pamuk yang “saya suka”. Setelah membaca Silent House, saya dibuat pusing dengan alur ceritanya. Saya pikir huzun yang pertama kali saya temukan di novel Istanbul, tidak ada dalam Silent. Untung ada Museum ini yang membuat saya ingin lagi membaca novel-novel Pamuk lainnya.


2 thoughts on “Museum of Innocence

  1. halo cininta, salam kenal. sama halnya sama kamu saya lagi cari novel Forty Rules of Love..tapi saya ga tau cari novel2 luar kaya gini di indo dimana…barang kali ada info, mohon share nya..terimakasih ;D

    salam.

    maque

    1. Salam kenal juga. Maaf baru buka blog.
      Aduuh akhirnya ada yang nyari novel ini juga. Kalo Orhan Pamuk bisa download, tapi bukunya Elif Safak nggak bisa kayaknya. Saya nyari di Periplus juga nggak ada. Di sini kayaknya kurang familiar, ya, sama novel-novel begini.
      Nanti kalau ada info lagi saya kasih tau 🙂

Leave a comment